Cerita Pendek : Biji Kenari Zilly
Aku melewati sebuah gang sempit pemukiman kumuh
di bantaran kali. Lorong-lorong rumah yang begitu dekat membuat langkahku terhambat.
Sanitasi yang buruk dan mampet membuat bau tidak sedap menguap kemana-mana. Diantara
bocah-bocah yang bermain kelereng, ada yang bertelanjang dada. Sebuah komunitas
marginal yang membuat nafasku sesak.
Pemukiman
kumuh itu berada tidak jauh dari perkotaan. Sejak pindah beberapa waktu silam,
Mak dan Bapak selalu mendapati penyakit gatal-gatal karena air sumur tercemar. Belum
lagi kebisingan yang kami hadapi ketika malam memuncak. Gemuruh mesin genset
merongrong telinga disaat listrik PLN kerap kali padam. Kebiasaan ini membuat
beberapa rumah papan mengalami kebakaran korsleting.
Bila
musim penghujan tiba, volume air kali bisa meninggi beberapa senti hingga
memadati tanggul primitif yang terbuat dari tumpukan karung berisi pasir. Pada
saat seperti itu, hanya ada satu tempat yang membuatku betah. Suatu taman
sepetak di pinggir kali berhadapan dengan jembatan beton buatan Belanda. Taman
itu menghadap ufuk barat, sehingga merupakan tempat yang indah bila menikmati
sunset. Disana aku senang berlama-lama.
Berita
besar mengenai penggusuran pemukiman Kenari santer terdengar. Rencananya,
seorang investor akan menyulap pemukiman menjadi komplek kondo super mewah. Hal
itu membuatku pusing. Sebuah nirvana di tengah neraka tidak pernah lagi
dihinggapi burung kecil sepertiku. Bagaimanapun, masyarakat kecil tidak bisa mendikte
kehendak duit.
Aku
melipat undangan bersampul polos yang kuterima dari Pak Sukemi. Setelah sekian
kali mangkir dari kegiatan sosial di kampung, aku akhirnya mendapatkan teguran
dari beliau. “Ikut sajalah. Kalau bukan
kita, siapa lagi?” ketusnya mengakiri ancamannya. Katanya ia akan memperlama
urusan kartu kuningku.
Aku
tidak berkilah. Gotong royong di pinggir kali memang membuat suntuk. Ini karena
sepanjang kali memasuki fase triwulan penghujan yang rawan. Bila tidak
diberesi, air bah tidak bisa berkompromi lagi.
Begitu
mendekat, aku mencuri pandang pada sekumpulan masyarakat yang sudah mulai
memperdalam pinggiran kali. Mereka terlihat menikmati pekerjaan tersebut. Mataku
kembali segar ketika menangkap sosok gadis manis yang tadi berada di belakang
Pak Sukemi.
Aku mendekati Zilly, adik
laki-lakiku. “Zil, itu siapa?” tanyaku penasaran menunjuk gadis manis tersebut.
Pandanganku tidak terputus begitu saja.
“Siapa?”
tanyanya memastikan.
Aku
menunjuk kembali sosok di belakang Pak Sukemi.
“Maksudnya Bu Siska? Ia
mahasiswi dari Yogya!” jawabnya.
“Oh
ya?” sahutku refleks. Gadis itu mencuri pandang ke arahku sambil tersenyum. Aku
membalas dengan senyuman pula. Kini pandangan kami menyatu.
“Hei
kamu, ayo kerja!” bentak Pak Sukemi membuyarkan kenikmatanku.
Aku
dongkol. Proses pembersihan kali membutuhkan waktu seharian penuh. Sampah
organik yang berasal dari limbah rumah tangga dikumpulkan menjadi satu. Untuk
non-organik, menjadi bagian pemulung. Penambahan dan pemerataan tanggul juga
membutuhkan dana yang tidak sedikit. Walhasil pemungutan dana sosial tidak bisa
terhindarkan.
Sayangnya
begitu gotong royong selesai, gadis itu menghilang. Otomatis teh yang
disediakan oleh Bu Jumatri tidak cukup memberikan gairah lagi. Aku menggenggam
tangan Zilly untuk pulang.
Keesokan
harinya, aku menempatkan motor bututku di halaman depan rumah. Setelah
memanaskan mesin sejenak, aku menghampiri Zilly yang sedang sarapan di ruang
tengah. Aku mengantarkannya menuju sekolah. Dari simpang, aku harus bergulat
menyusuri gang kecil dan keluar melewati jembatan tua Belanda. Dari depan
gerbang, aku meminggirkan motor sampai ke tepian trotoar.
Dari
dalam ruangan kesenian, aku melepas Zilly sampai tangga terakhir. Dan disaat
seperti itu, aku melihat gadis itu kembali.
“Zilly
bersama Abang?” sapanya dari dalam muncul keluar.
Zilly
mengangguk.
Aku
menatapi Ibu Guru itu. Sesaat pancaran matahari menghalaukan pandanganku. Aku
hanya menangkap lekukan bayangan wajahnya. Tetapi apa yang terjadi kemudian
adalah aku mendapati sesosok gadis manis yang tersenyum kepadaku.
“Perkenalkan,
Said!” aku menjulurkan tangan.
“Siska!”
ia membalas uluran tanganku.
“Bagaimana
tugas tas daur ulangnya?” tanya Siska.
“Hampir
selesai, Bu. Tapi Mama tidak bisa membantu lagi.”
“Abang
kan bisa bantu?” tawarku tidak mau melewatkan kesempatan ini.
“Kemarin
Bang Said kan tidak bisa?”
“Bisa
kok!” potongku. Aku tidak tahu kalau tugas Zilly melibatkan Siska. Dan
sekarang, sambil menyelam minum air.
Aku
mengekor ke dalam. Beberapa Ibu juga terlihat menemani anaknya disana. Sebagian
dari mereka melihatku dengan geli. Siska memulai tutorial pembuatan tas daur
ulang dari bungkus deterjen. Zilly terlihat serius mengikuti instruksi.
“Abang
jangan liatin Bu Siska terus, dong! Bantuin Zilly,” celoteh Zilly
ceplas-ceplos.
Aku
jengah. Para Ibu tertawa mendengarnya. Kelas seni berakhir diikuti dengan selesainya tas kreasi daur ulang.
Zilly menarik tanganku dan memberikan biji-biji aneh. Katanya ini adalah biji
kenari milik Bu Siska yang dihadiahkan kepadanya karena tas kreasi daur
ulangnya menjadi tas terbaik. Aku menggenggam dan hendak membuangnya. Tapi
kemudian Siska mendekat dan gusar.
“Jangan
dibuang! Itu sangat berharga!” cegahnya merampas dari tanganku.
“Maafkan
Zilly. Bolehkan Zilly menumbuhkannya?”
“Jangan
berikan kepada Bang Said lagi,” ucapnya mengerlipkan matanya.
Aku
masih tidak menangkap sisi berharga dari biji-biji itu. Siska yang mengerti isi
pikiranku kemudian berbisik sesuatu ke telinga Zilly. Ia memainkan tas
cantiknya itu.
“Bisakah
abang membantu Bu Siska menangani penggusuran?”
Aku
berpikir sejenak. Tatapan matanya menyiratkan kesungguhan. Pasti ia tahu dari
Zilly bahwa aku adalah mahasiswa hukum. Tapi dasar Zilly yang polos, pastinya
tidak semudah yang ia bayangkan.
Hatiku
mulai luluh melihat sosok manis itu. “Begini, hanya ada dua kemungkinan kita
bisa menang,” ketusku. Siska dan Zilly terllihat serius menunggu jawaban
dariku. “Pertama, bahwa di pemukiman kita terdapat minyak mentah, dan itu harus
diubah menjadi blok minyak,” lanjutku setengah meledek. Keduanya malah tidak
bereaksi. Mereka hanya menatapiku dengan dingin. Kelakarku terasa garing. “Oke,
kedua, kita mungkin bisa bertemu dengan investornya langsung!”
Langkah
selanjutnya merupakan sesuatu yang sulit. Aku mengajak Siska ke kantor kepala
desa. Pada bagian staf administrasi, kami mengajukan daftar nama investor kondo
terbaru didaerah pemukiman Kenari. Setelah memastikan alamat investor tunggal yang
memprakarsai pendirian kondo, kami juga mendapati peta pemukiman berwarna merah
yang merupakan area penggusuran.
Sore
hari, ketika matahari sudah sepenggalah terbenam, kami berusaha menghubungi investor
tunggal yang memegang kendali proyek kondo di pemukiman. Dari penuturan masyarakat,
rumahnya terletak diseberang kali berhadapan langsung dengan jalan utama menuju
kota. Dan benar saja, kami mendapati sebuah rumah petak yang tidak terlalu
istimewa diantara kerumunan rumah papan tua.
Aku
sedikit ragu. Tapi Siska dan Zilly mengandalkanku. Dan begitu kakiku melangkah
di mulut pagar, seorang pria setengah baya muncul memegang joran. Dia
tersenyum. Dari gelagatnya, dia hendak memancing di kali. Kami mengikutinya
sampai ke mulut kali. Dan betul saja, sambil melontar kail, ia bercerita
mengenai masa lalunya.
Pria
itu bernama Anggoro. Ia adalah anak sulung Mbah Sugeng. Seorang pemilik taman
sepetak dan pemukiman Kenari yang telah meninggal setahun yang lalu. Proyek
kondo itu adalah wasiat dari beliau. Anggoro kemudian memberikan blue-print kondo yang telah ia buat
sebelumnya.
“Bagaimana
dengan pemukiman warga?” tanya Siska sedikit kesal.
Anggoro
terdiam. Ia sepertinya tidak bisa berbuat banyak. “Ada satu hal yang membuatku
tidak bisa melupakan tempat ini.” Ia melanjutkan pengakuannya. “Kali ini
mengingatkanku terhadap Bapak, ketika memancing bersama disini,” lirihnya.
“Semuanya berubah. Kali ini juga berubah.”
“Kita
akan mengubahnya. Bisakah proyek kondo ini dialihkan?” tanya Siska berharap.
“Bagaimana
mungkin?”
“Pemukiman
Kenari akan berbenah. Dan itu butuh waktu.”
Anggoro
menarik kailnya lagi. Ia sepertinya setuju dengan tawaran Siska. Dan ketika ia
strike, wajahnya berubah cerah. “Baiklah, kalau kalian bisa memperbaiki
lingkungan di pemukiman ini, kita bisa bekerja sama!”
Setelah
itu, Siska menarik tanganku menuju kantor Pak Sukemi. Ia langsung mengajukan
program rehabilitasi kali. Selanjutnya, masyarakat pemukiman dikumpulkan di
aula utama.
“Bapak Ibu sekalian, kita
harus menyelamatkan pemukiman kita dari penggusuran kondo ini!” Siska berorasi
dengan lantang. Ia mengutarakan perihal keadaan kali yang semakin
mengkhawatirkan. Kesadaran masyarakat memuncak ketika mendengar pembatalan
penggusuran akan terealisasi dengan syarat tersebut.
Sosialisasi pembersihan kali
mulai gencar dilakukan. Aktivitas pembersihan hulu hingga hilir kali dilakukan
secara bergantian. Pihak humas mengumpulkan berbagai donatur untuk penggalangan
dana. Dari berbagai sudut kali, dibangun kotak beton pembuangan sampah yang
dibedakan dengan jenis sampahnya. Drainase sekeliling pemukiman dibersihkan dan
diberikan penutup cor. Penambahan batako menjadikan lorong-lorong pemukiman
Kenari tidak becek. Pemukiman Kenari menjadi terbarukan.
Kini tinggal Taman Kenari yang
belum direnofasi. Tanah sepetak yang cadas dan ditumbuhi ilalang tua itu
menjadi daerah serapan satu-satunya di pemukiman Kenari. Tapi, sepohon kenari
tua tidak mampu lagi mencengkram air dengan akar keroposnya.
Pak Sukemi dan beberapa staf
berencana membongkar pohon Kenari tua ditengah taman dengan buldoser pinjaman. Pohon
Kenari itu rawan tumbang dan membahayakan pemukiman. Batangnya yang menjulang itu
kini harus siap digelincirkan ke bumi. Ketika pohon Kenari itu mulai tergerus
oleh mulut buldoser, tanah-tanah mulai terangkat. Akar-akarnya mencuat ke
permukaan. Ia melekang kesakitan. Semua anak-anak pemukiman Kenari menangis
melihat sahabat bermain mereka dibunuh.
Setelah itu Anggoro datang. Ia
sedikit terkejut melihat pohon Kenari tua Ayahnya kini ambruk mengenaskan. Ini
tidak sesuai dengan harapannya. Dengan sedikit kesal, ia menghujat pak Sukemi. “Bagaimana
mungkin kalian membiarkan taman ini tanpa pohon Kenari?” tanyanya gusar.
Para jajarannya mematung.
Sepertinya terjadi perbincangan alot. Pak Sukemi memberikan alasannya. Tapi
warga tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Kesepakatan pengalihan proyek kondo
terancam dibatalkan. Anggoro berbalik dan menyuruh sekretarisnya untuk
memanggil petugas penggusur. Warga menjadi gempar. Suasana berubah ramai dan
panas. Dari sebagian warga ada yang menghujat Anggoro. Perang kata-kata tidak
bisa dihindari.
Disaat suasana sulit itu, Zilly
maju tanpa getir menyeruak keramaian. Langkahnya gontai mempengaruhi pertikaian
tersebut. Kemudian ia sampai diatas bekas jajahan pohon kenari tua tersebut. Ia
meletakkan beberapa bibit bungkus polybag disampingnya “Kita akan menanam
kenari kecil disini!” teriaknya sembari memanggilku supaya mendekat. Kemudian
ia mengorek tanah menggunakan kedua tangannya. Setelah dirasa cukup dalam, ia
membuka polybag dan menanam bibit tersebut. Aku langsung menimbunnya.
Beberapa dari mereka mulai
terdiam. Bahkan Kang Ujang yang terkenal liar, menjadi lembek dan membantu kami
menanam sisa bibit lainnya. Pak Subagya berkacak pinggang tanda simpati.
Seluruh warga akhirnya menjadi luluh dan berpartisipasi. Kini, biji kenari
Zilly telah berubah menjadi pohon kenari kecil yang berdiri kokoh di beberapa
sudut taman. Pohon kenari yang potensial dan penyambung estafet kehijauan di
taman.
Zilly mendekati barikade
Anggoro. Ia memberikan biji-biji kenari yang diperoleh dari guguran ranting
kenari tua yang telah tumbang. “Om bisa menjaga kenari ini sampai besar!”
“Saya berjanji!” seru Anggoro tersenyum
mengacungkan kelingkingnya. Sekarang kelingking mereka saling bertautan.
Dan pada akhirnya, pemukiman Kenari
berbenah. Zilly kecil telah mengubah kebiasaan masyarakat dengan kenari kecilnya.
Setiap hari, ia selalu datang menemani sahabat kecilnya itu. Sekarang,
kenari-kenari kecilnya telah tumbuh menjulang tinggi. Taman itu kini menjadi
nirvana diantara aktifitas pemukiman Kenari yang hiruk-pikuk.
Setelah mengalami liburan
panjang di pemukiman Kenari, aku kembali ke kota. Semangat Zilly telah
menggugah kehidupan kos-ku. Sebuah kebiasaan kecil yang dimulai dengan
kepolosan, akan mengubah lingkungan sekitar. Ini memang membutuhkan tekad konsisten.
Demi terciptanya bumi yang lebih baik.
Semua isi konten di atas pada Muhammad Reza Hrp
Posting Komentar untuk "Cerita Pendek : Biji Kenari Zilly"